Meraih Pahala Sebelum Tidur

0 Comments


Alangkah beruntungnya seorang muslim. Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan amalan-amalan yang bernilai ibadah yang bisa dilakukan pada setiap keadaan dalam berbagai aktifitas kesehariannya sehingga sangat banyak kesempatan untuk meraih pahala.
Salah satu diantaranya adalah ketika seorang muslim hendak tidur, Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan banyak amalan ringan sebelum tidur yang apabila amalan tersebut dilakukan akan bernilai pahala di sisi Allah. Berikut akan dibawakan beberapa amalan yang bisa dilakukan oleh seorang muslim ketika hendak tidur.

Menutup Pintu, Memadamkan Api (Lampu)dan Menutup Bejana

Dianjurkan bagi seorang muslim untuk menutup pintu, memadamkan api (lampu), dan menutup bejana yang ada di rumahnya sebelum tidur. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillahradhiyallahuanhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana makanan dan minuman.”(HR Bukhori-Muslim).

Berwudhu

Anjuran untuk berwudhu sebelum tidur dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Al Baro’ bin ‘Azib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Membersihkan Tempat Tidur

Dianjurkan pula untuk mengibaskan kain pada tempat tidur sebanyak tiga kali sebelum berbaring. Anjuran ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengibaskan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya…”. Di dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa jumlah kibasan yang dianjurkan adalah sebanyak tiga kali (HR. Bukhari dan Muslim).

Berbaring pada Bagian Kanan Badan

Posisi awal yang dianjurkan ketika tidur adalah dengan menumpukan badan pada bagian kanan badan dan dianjurkan pula untuk menjadikan tangan kanan sebagai bantal untuk kepala. Hal ini berdasarkan hadits yang telah dibawakan di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban). Adapun ketika telah terlelap tidak mengapa jika posisi badan berubah.

Membaca Beberapa Surat/Ayat Al Qur’an

Ada beberapa surat/ayat yang dianjurkan untuk dibaca menjelang tidur. Diantaranya:
Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas, ‘Aisyah radhiyallahu‘anha berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya, lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari)
Ayat Kursi, hal ini berdasarkan hadits yang diriwiyatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (HR. Bukhari).
Dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh,berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam Barangsiapa membaca dua ayat tersebut pada malam hari, maka dua ayat tersebut telah mencukupkan-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Surat Al Kafirun, berdasarkan sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallammengajarkan sahabat Naufal untuk membaca surat Al Kafirun sebelum tidur (HR Abu Dawud, Ahmad, dan At Tirmidzi).
Surat Al Mulk dan As Sajdah, hal ini berdasarkan penjelasan sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidur sampai beliau membaca alif lam mim tanzilus sajdah (surat As Sajdah) dan Tabarokalladzi biyadihil mulk (surat Al Mulk)” (HR Bukhari).

Membaca Beberapa Dzikir dan Do’a

Ada banyak dzikir dan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk dibaca sebelum tidur. Berikut diantaranya:
“Bismikallahumma amuut wa ahyaa” (HR Bukhari)
“Allahumma qiini ‘adzabaka yauma tab’atsu i’badak” (HR Abu Dawud)
“Bismikarabbii wa dho’tu jambii wa bika arfa’uhu in amsakta nafsii farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakasshaalihiin.” (HR Bukhori dan Muslim)

Menjauhi Hal-hal Makruh

Ada beberapa hal yang makruh yang sepatutnya dijauhi untuk dilakukan sebelum tidur. Diantaranya:
Makruh tidur di atas dak terbukaberdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat `Ali bin Syaiban bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya” (HR. Bukhari).
Makruh tidur dalam posisi telungkup (perut sebagai tumpuan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,“Sesungguhnya cara berbaring seperti ini (telungkup) adalah cara berbaringnya penghuni neraka“. (HR Ibnu Majah)
Demikian diantara amalan-amalan ringan yang bisa dilakukan oleh seorang muslim sebelum tidur. Semoga Allah memudahkan kita dalam setiap kebaikan di sisa umur kita. Amiin. [Muhammad Rezki Hr]

0 komentar:

Cuma Ada Pada Seorang Mukmin

0 Comments


Karakter mengagumkan yang tidak ditemukan pada pribadi yang bukan mukmin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia bersyukur. Maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar. Maka itu juga merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dua pilar keimanan
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari dua bagian, satu bagian sabar dan satu bagian yang lain adalah syukur. Terdapat riwayat serupa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun riwayat itu dilemahkan oleh Syaikh al-Albani (lihat ad-Dha’ifah [625]). Ibnul Qayyim juga menggambarkan bahwa sabar bagi iman laksana kepala bagi tubuh seorang insan. Ungkapan serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalibradhiyallahu’anhu. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak memiliki kesabaran, sebagaimana halnya tidak berfungsi tubuh apabila tidak ada kepalanya (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid).
Demikian pula syukur, ia merupakan bukti keseriusan seorang hamba dalam mengabdi dan tunduk kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah : 172). Allah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati adalah untuk bersyukur kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan kalian tidak mengetahui apa-apa, dan Allah menciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan hati mudah-mudahan kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. an-Nahl : 78).
Syukur ketika mendapat nikmat
Syukur adalah ibadah yang sangat agung. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. al-Baqarah : 152). Barangsiapa yang bersyukur kepada Allah maka Allah akan tambahkan nikmat kepada-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang justru kufur maka sesungguhnya siksaan Allah sangatlah keras. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Rabb kalian mengumumkan kepada kalian; Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku atas kalian dan jika kalian kufur, sesungguhnya siksa-Ku sangatlah keras.” (QS. Ibrahim : 7).
Hakikat dari syukur itu adalah mengakui di dalam hati bahwa nikmat yang ada ini adalah dari Allah, memuji Allah dengan lisannya, dan menggunakan nikmat-nikmat itu untuk taat kepada-Nya. Di dalam Madarij as-Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan bahwa syukur itu akan tegak jika ditopang oleh lima pilar : [1] tunduk dan merendah kepada Dzat yang disyukuri -yaitu Allah-, [2] cinta kepada-Nya, [3] mengakui bahwa nikmat itu adalah pemberian-Nya, [4] memuji-Nya -dengan lisan- atas limpahan nikmat tersebut, dan [5] tidak memanfaatkannya dalam perkara yang dibenci-Nya. Inilah lima pilar syukur, apabila salah satunya hilang maka cacatlah syukur yang ada pada diri seorang hamba.
Jangan salah sangka!
Namun perlu disadari bahwa nikmat itu ada yang dimiliki oleh semua orang -bahkan orang kafir sekali pun- dan ada juga yang hanya dimiliki oleh orang mukmin. Nikmat keduniaan seperti makanan, minuman, tempat tinggal, kesehatan, dan harta merupakan nikmat yang didapatkan oleh mukmin maupun kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. as-Syu’ara’ : 88-89). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya anak keturunan Adam memiliki dua lembah harta niscaya dia masih akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu nikmat semacam ini bukan ukuran kemuliaan dan kebahagiaan yang sejati. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya menimpakan ujian kepadanya dengan memuliakan dan mencurahkan nikmat kepadanya maka dia mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Dan apabila Dia mengujinya dengan membatasi rezkinya niscaya dia akan mengatakan, ‘Rabbku telah menghinakanku’. Sekali-kali bukan demikian…” (QS. al-Fajr : 15-17).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maknanya adalah: Tidaklah setiap orang yang Aku (Allah) berikan kemuliaan di dunia dan Kuberikan kenikmatan dunia kepadanya maka itu berarti Aku benar-benar mengaruniakan nikmat yang hakiki kepadanya. Karena sesungguhnya hal itu merupakan cobaan dari-Ku kepadanya sekaligus sebagai ujian untuknya. Dan tidak pula setiap orang yang Aku batasi rezkinya sehingga Aku jadikan rezkinya sebatas apa yang diperlukannya saja tanpa ada kelebihan maka itu artinya Aku sedang menghinakan dirinya. Namun, sesungguhnya Aku sedang menguji hamba-Ku dengan nikmat-nikmat sebagaimana halnya Aku ingin menguji dirinya dengan berbagai bentuk musibah.” (Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah)
Sedangkan nikmat yang berupa kepahaman tentang agama, anak yang berbakti, dan istri yang salihah merupakan bagian dari kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana pula yang Allah ceritakan mengenai Ibadur Rahman yang berdoa kepada Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan anak keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan : 74). Namun, tentu saja hal itu tidak boleh menyeret orang berbangga-bangga dan sombong dengan ilmu dan amalnya. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai orang-orang yang benar-benar berilmu (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir : 29). Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Berdoalah untuk bisa bersyukur kepada-Nya
Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir sholat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud [1522])
Sabar ketika tertimpa musibah
Musibah berupa penyakit, kecelakaan, kemiskinan, adalah perkara biasa yang dihadapi oleh manusia. Tidak ada bedanya antara orang yang beriman dengan orang yang kafir, mereka semua bisa mendapatkannya. Hanya saja, seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan takdir-Nya maka dia akan menjadikan musibah itu sebagai ladang pahala baginya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, dan kekurangan harta, hilangnya jiwa, dan sedikitnya buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan; Sesungguhnya kami ini milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Mereka itulah orang yang mendapatkan ucapan salawat/pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-Baqarah : 155-157).
Sabar adalah anugerah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hakikat dari sabar itu adalah menahan diri dari marah kepada Allah, menahan lisan agar tidak mengeluh dan murka kepada takdir, serta menahan anggota badan agar tidak melakukan perkara-perkara yang dilarang seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dsb (Hasyiyah Kitab at-Tauhid).
Sesungguhnya dengan adanya musibah, maka seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapuskan dosa dengannya sampai pun duri yang menusuk badannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah akan menunda hukuman atas dosanya itu sampai pada hari kiamat nanti hukuman itu baru akan ditunaikan.” (HR. Tirmidzi, disahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ [308]).
Meskipun demikian, seseorang tidak boleh berdoa kepada Allah agar hukumannya disegerakan di dunia. Dikisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi seorang yang sakit di antara para sahabatnya yang kondisinya sangat lemah. Maka Nabi bertanya kepadanya, “Apakah engkau meminta atau berdoa sesuatu kepada Allah sebelum ini?”. Maka lelaki itu menjawab, “Ya, dahulu saya pernah berdoa; Ya Allah, hukuman yang akan Kamu berikan kepadaku di akhirat maka segerakanlah bagiku di dunia.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Subhanallah! Kamu pasti tidak akan sanggup menanggungnya, tidakkah sebaiknya kamu berdoa; Allahumma aatinaa fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar (Ya Allah, berikanlah kebaikan kepada kami di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari neraka).” Maka lelaki itu pun berdoa dengannya dan disembuhkan oleh Allah. (HR. Muslim).
Pahala yang besar bersama dengan sabar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka maka murka pula yang akan didapatkannya.”(HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [146]). Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Siapakah orang yang paling berat cobaannya?”. Maka beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian orang yang seperti mereka sesudahnya, dan orang semacam mereka berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila orang itu kuat agamanya maka semakin keras cobaannya. Kalau agamanya lemah maka dia akan dicobaa sesuai dengan kadar agamanya. Maka musibah dan cobaan itu senantiasa menimpa seorang hamba hingga dia ditinggalkan berjalan di atas muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata; hasan sahih)
Sabar pun membutuhkan pertolongan Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bersabarlah, dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan dari Allah.” (QS. an-Nahl : 127). Yang demikian itu dikarenakan sabar itu meliputi tiga cakupan : [1] sabar dalam menjalankan ketaatan, [2] sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan [3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Oleh sebab itu, seorang hamba sangat membutuhkan pertolongan dari Allah dalam setiap gerak dan langkahnya. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap roka’at sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarkan kepada kita untuk senantiasa membaca ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, ihdinas shirathal mustaqim…’. Karena memang tidak ada bagi kita tempat bergantung dan tambatan hati dalam beribadah dan memohon pertolongan kecuali kepada-Nya. Dan salah satu perkara paling agung untuk dimintakan pertolongan kepada Allah adalah konsisten di atas jalan yang lurus, alias sabar di atas kebenaran. Karena jalan yang lurus itu memadukan antara ilmu dan amalan, niat yang ikhlas dan cara yang benar, sementara keduanya tidak akan diperoleh kecuali dengan kesabaran.
Untuk konsisten dalam melakukan ketaatan seorang hamba membutuhkan kesabaran. Sebagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabar dalam mendakwahkan tauhid selama bertahun-tahun dengan harus merasakan beratnya tekanan dan permusuhan dari kaumnya, sungguh perjuangan tak kenal lelah yang membutuhkan kesabaran ekstra. Demikian juga dalam mengendalikan hawa nafsu dan menepis godaan syaitan seorang hamba juga sangat memerlukan perisai kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu diliputi dengan perkara-perkara yang menyenangkan sedangkan surga itu diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang akhirnya bisa menyelamatkan beliau dari perbuatan keji. Begitu pula dalam menyikapi musibah yang dialami, sabar harus tetap ada di dalam dada dan perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ada anak salah seorang hamba itu meninggal maka Allah bertanya kepada malaikat-Nya, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa buah hati hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab ‘Ya.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan beristirja’ -membaca innaa lillaahi dst-..’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku itu sebuah rumah di surga, dan beri nama rumah itu dengan Bait al-Hamd.’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [1408]).
Semoga Allah melimpahkan kepada kita kesabaran ketika tertimpa musibah, sabar ketika menjauh dari dosa, dan sabar ketika menjalankan ketaatan kepada-Nya, sebagaimana kita memohon kepada Allah yang ada di atas ‘Arsy sana agar mematikan kita sebagai mukmin yang pandai bersyukur kepada-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. [Ari Wahyudi]

0 komentar:

Muda Foya-Foya, Mati Masuk Surga?

0 Comments


Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.
Wahai Pemuda, Hidup Di Dunia Hanyalah Sementara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dariFathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalamAl Jami’ Ash Shogir)
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatkanlah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: ”Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan,
فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا
“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)
Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
Orang yang Beramal Di Waktu Muda Akan Bermanfaat Untuk Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95] : 4-6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal”. Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك
“Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba.” (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

0 komentar:

Blogger templates