memuliakan tamu

0 Comments


Di antara adab memuliakan tamu adalah menyambutnya dengan wajah menyenangkan, mempersilakannya duduk, menyuguhkan makan dan minum, dan memenuhi hak tamunya. Sikap ini menjadi penghormatan tertinggi tuan rumah terhadap tamunya.

Jika kita melihat kehidupan dalam masyarakat modern saat ini, maka akan nampak jelas bagi kita bahwa kedudukan tamu diklasifikasikan menjadi dua kelompok; kelompok tamu yang menguntungkan bagi tuan rumah dan kelompok tamu yang tidak disenangi tuan rumah. Perlakuan tuan rumah kepada kedua jenis tamu ini tentulah berbeda; tamu yang dianggap menguntungkan akan disambut dengan ramah sementara tamu yang tidak disenangi akan disambut oleh papan : “Awas Anjing Galak!” Atau jawaban dari pembantu rumah tangga : “Tuan/Nyonya sedang tidak ada di rumah”, dengan harapan agar tamu tersebut tidak akan kembali lagi.

Semua hal ini terjadi karena segala sesuatu telah diukur berdasar nilai materi semata-mata, baik sang tuan rumah maupun sang tamu kebanyakan menjalin hubungan yang bersifat materialistik, sehingga wajar jika fenomena di atas yang terjadi. Islam meletakkan paradigma yang sama sekali berbeda tentang hal ini, karena tata-sosial masyarakat Islam didasarkan atas aqidah dan nilai-nilai ukhrawi, artinya bahwa setiap tamu yang datang adalah sebuah kesempatan emas untuk menjalin silaturrahim dan menambah pahala akhirat, sehingga wajiblah bagi tuan rumah untuk memuliakan tamunya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Dari hadits di atas terdapat beberapa kandungan yang mulia, diantaranya:
1. Memuliakan Tamu merupakan bentuk kewajiban
Memuliakan tamu merupakan sunnah (jalan/tuntunan) Rasulullah Saw. Bahkan, ia merupakan perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
2. Penyempurna Iman
Perkara memuliakan tamu berkaitan dengan kesempurnaan iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala dan hari akhir yang keduanya merupakan bagian dari rukun iman yang enam yang wajib diyakini oleh setiap pribadi muslim.
A. Adab dalam Memuliakan Tamu
Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamunya. Ketika Allah subhanahu wata’ala hendak mengaruniakan kepadanya seorang anak yang ‘alim yang bernama Ishaq, Allah mengutus para Malaikat untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada beliau.


Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Nabi Ibrahim (para Malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam, Nabi Ibrahim menjawab: salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi yang gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Nabi Ibrahim berkata: Silahkan kalian makan…” (Adz Dzariyat: 24-27)

Dari kisah yang mulia tersebut, kita bisa memetik beberapa pelajaran yang sangat berharga, di antaranya:
1. Bersegera dalam menyambut dan menjamu tamu
Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, dia bersegera untuk mendatangi keluarganya dan mempersiapkan hidangan untuk menjamu tamunya tersebut.
2. Menjawab salam dengan yang terbaik
Dalam ayat di atas juga terdapat tuntunan dalam menjawab salam, yaitu dengan yang serupa atau yang lebih baik. sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan (salam) itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisa’: 86)
3. Menghidangkan kepada tamu dengan hidangan yang paling baik
Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam ketika menghidangkan daging anak sapi yang gemuk kepada para tamunya. Makanan ini merupakan makanan yang sangat lezat dan paling baik pada waktu itu.
4. Meletakkan hidangan tersebut di dekat tamu
Allah subhanahu wata’ala menyatakan فَقَرَّبَه إِلَيْهِمْ (Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihi salam mendekatkan hidangan itu kepada mereka). Tidaklah Nabi Ibrahim meletakkan hidangan tersebut jauh dari tempat para tamunya, dan tentunya hal ini lebih memudahkan bagi para tamu untuk menikmati hidangan tersebut.

5. Menyambut/mengajak bicara dengan bahasa yang sopan dan baik
Nabi Ibrahim as. mengatakan ketika menghidangkan makanannya أَلاَ تَأْكُلُوْنَ (Silahkan kalian makan) dan tidak mengatakan: كُلُوْا (makanlah). Menggunakan lafadz “Silahkan” atau yang semisalnya itu lebih sopan dan lebih baik pula daripada kalimat yang kedua.
6. Menjaga dan Melindungi Tamunya dari Kemudharatan
Praktek para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam menyambut dan menjamu tamu sangatlah patut dijadikan uswah (suri tauladan) bagi umat Islam.
Tahukah anda siapakah shahabat Anshar? Shahabat Anshar adalah para shahabat yang tinggal di negeri Madinah yang siap membela dakwah nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka pulalah orang-orang yang dijadikan Allah subhanahu wata’ala sebagai uswah dalam menyambut/menjamu tamu. Ketika para Muhajirin (para shahabat yang berhijrah/pindah dari Makkah dan yang lainnya menuju Madinah) telah sampai di kota Madinah, para shahabat Anshar berlomba-lomba untuk menyambut dan menjamu mereka dengan sebaik-baiknya. Bahkan kaum Anshar lebih mengutamakan kebutuhan kaum Muhajirin daripada kebutuhan diri mereka sendiri, walaupun sebenarnya mereka sendiri pun sangat membutuhkannya.
Sehingga kisah ini Allah abadikan di dalam Al Qur’an sebagai tanda kebersihan dan kejujuran iman para shahabat Rasulullah dan sekaligus sebagai uswah (suri tauladan) bagi generasi sesudahnya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“… Dan mereka lebih mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri sangat membutuhkannya.” (Al Hasyr: 9)
7. Ketika tamu pulang, tuan rumah hendaknya mengantarkan tamu sampai ke pintu atau
kendaraannya. Tuan rumah tidak dianjurkan menutup pintu sebelum si tamu pergi.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2263570-memuliakan-tamu-dalam-islam/#ixzz24kt5thnU

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar:

Blogger templates